Mengenai
pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan
sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan
tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya. Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong
orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya.
Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi
seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan
karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku
yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran
tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah,
kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama,
tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus
dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada
banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan
hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah
dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam
untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang
harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan
reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom
(kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen
Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College
di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only
through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision
cleared, ambition inspired, and success achieved”.
Selain
itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah
satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat,
didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi
bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya
sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang
cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang
dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is
the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan
akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak
hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup
dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu,
dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara
disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh
dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikandi sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.
Di
sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua
pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena
itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan
jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga
stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat.
Pembentukan
dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan
keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama
dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus
pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat . Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap
karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap
keberhasilan penanaman nilai-nilaietika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais
Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengansistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang
masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilaidan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka
upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin
mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan
diatas, ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus
diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan
pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa
aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata
pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman
moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang
terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan
dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar